Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, Terpidana | lintas86.com

Perbedaan Terlapor, Tersangka, Terdakwa, Terpidana


lintas86.com, Ponorogo - Kita sering mendengar atau membaca kata terlapor, tersangka, terdakwa, ataupun terpidana. Terlapor, tersangka, terdakwa, dan terpidana merupakan hal yang berbeda. Apa perbedaan antara keempat hal tersebut?

Berdasarkan Pasal 1 butir 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 

Laporan tersebut disampaikan kepada pihak kepolisian. Terlapor adalah seseorang yang dilaporkan dalam laporan tersebut.[1] Oleh karena itu, terlapor adalah seseorang yang dilaporkan telah atau diduga melakukan suatu tindak pidana, namun belum tentu terlapor tersebut menjadi pelaku atas suatu tindak pidana.  

Seorang terlapor dapat menjadi tersangka, namun seorang terlapor belum tentu menjadi tersangka. Berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Yahya Harahap, bukti permulaan yang cukup setidaknya mengacu pada standar minimal 2 (dua) alat bukti.[2] Kemudian Lamintang juga menyampaikan pendapatnya bahwa bukti permulaan yang cukup harus diartikan sebagai bukti minimal berupa alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 

Adapun yang dimaksud dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Chandra M. Hamzah berpendapat bahwa bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas keterangan yang diperoleh dalam proses penyelidikan, keterangan saksi dalam proses penyelidikan, keterangan ahli dalam proses penyelidikan, dan barang bukti dalam proses penyelidikan dan penyidikan.[3] Kemudian berdasarkan Pasal 25 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri tentang Penyidikan Tindak Pidana), seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti. Oleh karena itu, tersangka adalah seseorang yang diduga sebagai pelaku atas suatu tindak pidana berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti.

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, yakni minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.[4]

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.[5]

Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[6]

Hak-Hak Tersangka/Terdakwa

Secara umum, tersangka dan terdakwa berhak atas sejumlah hal berikut.

Mendapat penjelasan mengenai hal yang disangkakan kepadanya. Untuk mempersiapkan pembelaan, tersangka berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya.[7]

Hal ini agar tersangka/terdakwa dapat mempersiapkan pembelaan yang dibutuhkan. Misalnya bagi tersangka, menentukan perlu/tidaknya mengusahakan bantuan hukum untuk pembelaan tersebut.[8]

Memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.[9]

Mendapat juru bahasa.[10]

Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum dan memilih sendiri penasihat hukumnya.[11]

Menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi,[12] yaitu ganti kerugian apabila ditangkap, atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan,[13] dan rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[14]

Tidak dibebani kewajiban pembuktian.[15]

Selain hak-hak yang umum tersebut, secara khusus berdasarkan proses-proses dalam hukum acara pidana, tersangka/terdakwa juga memiliki hak dalam setiap proses hukumnya. Baik dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga tingkat pengadilan.

Dalam proses penangkapan tersangka dan terdakwa berhak untuk:

Tidak ditangkap secara sewenang-wenang.

Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.[16]

Ditangkap oleh pihak yang berwenang melakukan penangkapan.

Secara hukum, yang berwenang melakukan penangkapan hanyalah petugas kepolisian, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat ia diperiksa.[17]

Meminta petugas memperlihatkan surat tugas dan memberikan surat perintah penangkapan, kecuali jika tertangkap tangan, maka penangkapan dilakukan tanpa surat perintah.[18]

Orang yang ditangkap berhak meneliti isi surat perintahnya, seperti kebenaran identitas yang tercantum, alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat diperiksa.

Keluarga orang yang ditangkap berhak menerima tembusan surat perintah penangkapan segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan.[19]

Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.[20]

Meminta dilepaskan setelah lewat batas maksimum penangkapan, yaitu satu hari.[21]

Dalam proses penahanan tersangka atau terdakwa berhak untuk:

Menerima surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka/terdakwa, alasan penahanan, uraian singkat perkara yang dipersangkakan/didakwakan, serta tempat ia ditahan.[22]

Diberitahukan tentang penahanan atas dirinya kepada keluarga atau orang yang serumah dengan tersangka/terdakwa, atau orang lain yang dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.[23] Dalam hal ini, keluarga orang yang ditahan berhak menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim.[24]

Menghubungi dan menerima kunjungan dari keluarga atau pihak lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan atau usaha mendapatkan bantuan hukum.[25]

Menghubungi penasihat hukum.[26]

Menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga dalam hal yang tidak berhubungan dengan perkara, untuk kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan, baik secara langsung maupun melalui perantara penasihat hukumnya.[27]

Menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.[28]

Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.[29]

Mengirim dan menerima surat dari penasihat hukum dan sanak keluarga.[30]

Meminta penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang/atau orang, berdasarkan syarat yang ditentukan, seperti wajib lapor, tidak keluar rumah/kota.[31]

Meminta ganti kerugian atas tenggang waktu penahanan atau perpanjangan penahanan yang tidak sah.[32]

Dalam proses penggeledahan tersangka atau terdakwa berhak untuk:

Mendapatkan penggeledahan dilakukan sesuai hukum, di antaranya:

Dilakukan berdasarkan izin surat izin ketua pengadilan negeri,[33] kecuali dalam keadaan sangat perlu dan mendesak.[34]

Dalam memasuki rumah penyidik harus disaksikan 2 orang saksi, jika tersangka/terdakwa menyetujuinya. Jika tersangka/penghuni menolak/tidak hadir, harus disaksikan kepala desa/ketua lingkungan dengan 2 saksi.[35]

Pemilik/penghuni rumah memperoleh turunan berita acara penggeledahan dalam waktu 2 hari setelah penyidik memasuki atau menggeledah rumah.[36]

Pada tingkat pengadilan tersangka atau terdakwa berhak atas:

Segera diajukan dan diadili perkaranya oleh pengadilan.[37]

Untuk mempersiapkan pembelaan, terdakwa berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya[38] Untuk itu, pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa bekebangsaan asing atau yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia.[39]

Diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.[40]

Memberikan keterangan secara bebas kepada hakim.[41]

Mendapat bantuan hukum dari seorang/lebih penasihat hukum[42] dan memilh sendiri penasihat hukumnya.[43]

Mengajukan banding terhadap putusan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat.[44]

Mengajukan kasasi.[45]

Hak-Hak Terpidana

Pada saat menjalani hukuman, seorang terpidana memperoleh hak-hak yang serupa seperti tersangka/terdakwa yang sedang dalam penahanan, sebagaimana telah diterangkan di atas.

Selain itu, terpidana juga berhak untuk:

Mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.[46]

Menuntut ganti kerugian karena diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.[47]

Demikian jawaban kami seputar perbedaan hak tersangka, terdakwa, dan terpidana, semoga bermanfaat. (M. Nur Amin Zabidi, S.H)

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013;

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

[1] Kartini Laras Makmur, Ini Bedanya Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a05720c51f4e/ini-bedanya-terlapor–tersangka–terdakwa–dan-terpidana/ (diakses pada 4 Desember 2020).

[2] Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2014), halaman 17.
 

[3] Ibid, halaman 18.

[4] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (hal.109)

[5] Pasal 1 angka 15 KUHAP

[6] Pasal 1 angka 32 KUHAP

[7] Pasal 51 KUHAP

[8] Penjelasan Pasal 51 huruf a KUHAP

[9] Pasal 52 KUHAP

[10] Pasal 53 KUHAP

[11] Pasal Pasal 54 dan 55 KUHAP

[12] Pasal 68 KUHAP

[13] Pasal 95 ayat (1) KUHAP

[14] Pasal 95 ayat (7) KUHAP

[15] Pasal 66 KUHAP

[16] Pasal 17 KUHAP dan penjelasannya

[17] Pasal 18 ayat (1) KUHAP

[18] Pasal 18 ayat (1) dan (2) KUHAP

[19] Pasal 18 ayat (3) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 (hal.34)

[20] Pasal 50 ayat (1) KUHAP

[21] Pasal 19 ayat (1) KUHAP

[22] Pasal 21 ayat (2) KUHAP

[23] Pasal 59 KUHAP

[24] Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP

[25] Pasal 60 KUHAP

[26] Pasal 57 ayat (1) KUHAP

[27] Pasal 61 KUHAP

[28] Pasal 63 KUHAP

[29] Pasal 58 KUHAP

[30] Pasal 62 ayat (1) KUHAP

[31] Pasal 31 ayat (1) KUHAP dan penjelasannya

[32] Pasal 30 KUHAP

[33] Pasal 33 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya

[34] Pasal 34 ayat (1) KUHAP

[35] Pasal 33 ayat (3) dan (4) KUHAP

[36] Pasal 33 ayat (5) KUHAP

[37] Pasal 50 ayat (2) dan (3) KUHAP

[38] Pasal 51 huruf b KUHAP

[39] Penjelasan Pasal 51 huruf b KUHAP

[40] Pasal 64 KUHAP

[41] Pasal 52 KUHAP

[42] Pasal 54 KUHAP

[43] Pasal 55 KUHAP

[44] Pasal 67 KUHAP

[45] Pasal 244 KUHAP

[46] Pasal 263 ayat (1) KUHAP

[47] Pasal 95 ayat (1) KUHAP

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url